Hai Kawan,
Traveling, jangan tinggalkan jejak dan jangan mengambil apa pun. Bawalah hanya yang tertangkap kamera dan kenangan di kepala.
Saya baru kembali dari penjelajahan lagi. Dan semakin sering menjelajah Indonesia, semakin saya melihat sifat asli bangsa kita sebagai wisatawan. Kita sadar wisata, sadar untuk mengunjungi tempat-tempat indah, surga di Indonesia, sadar untuk mengagumi dan mempromosikannya. Tapi sayangnya kesadaran wisata tadi tidak diikuti dengan kesadaran untuk menjaga kelestarian alam.
Pulang dari Derawan semakin membuat miris melihat kondisi alam Indonesia. Bukan hanya pengunjungnya, pelaku pariwisata di daerah pun terkadang tak sadar akan hal ini. Pemandu lokal yang seharusnya menjadi “polisi” untuk kelestarian alam di daerahnya justru menjadi “penjahat”.
Menangkapi clown fish di laut, berenang dengan fin di Danau Kakaban. Padahal mereka yang jelas-jelas melarang penggunaan fin karena dapat “membunuh” ubur-ubur yang sangat rentan di danau tersebut. Sebagai orang yang dipandu aku hanya bisa mengingatkan, tapi mereka memberikan alasan ini itu untuk melegalkan apa yang mereka lakukan.
Lain pemandu, lain pula yang dipandu. Seperti anak kecil dilepas di toko mainan, semua harus disentuh dan semua harus dipegang. Terumbu karang itu kan hanya untuk dinikmati sambil snorkeling, bukan jadi tempat istirahat dan jadi tempat berdiri saat capek snorkeling-an. Itulah alasan snorkeling dianjurkan pakai pelampung. Kalau capek, mengapung saja! Tidak ada tulisan juga “silahkan beristirahat disini”. Dengan kondisi yang saya saksikan kemarin, terumbu karang di Pulau Maratua, tahun depan mungkin hanya tinggal cerita.
Disuatu pagi sempat berbincang dengan Pak Ading, salah seorang nelayan Pulau Derawan yang beralih profesi menjadi operator boat. Beliau sangat sadar kalau kondisi alam di Derawan dan Kakaban semakin buruk. Terumbu karang semakin hilang dan ubur-ubur di Danau Kakaban sangat jauh berkurang. Kata beliau pemerintah kurang peduli akan hal ini. Menurut saya hal seperti ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi semua orang yang terlibat dari proses wisata masal ini.
Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Derawan, bahkan Ora yang harus ditempuh 5 jam perjalanan dari Ambon pun tak luput dari coretan-coretan tidak bertanggung jawab. Tebing-tebing di Mata Air Belanda penuh “hiasan” yang tidak indah. Sempat terpikir bagaimana cara mereka naik ke tebing-tebing dan membuat tulisan-tulisan tidak berguna itu. Usaha yang besar untuk hasil yang merusak.
Sorry jadi curhat panjang. Tapi kalau kamu ada waktu, segeralah mengunjungi tempat-tempat itu, sebelum semuanya hanya tinggal cerita. Dan selalu ingat untuk jadi pengunjung yang bertanggung jawab. Karena traveling itu seperti papan peringatan di toilet bandara Soekarno Hatta, JANGAN TINGGALKAN JEJAK, karena masih ada generasi berikutnya yang juga punya hak menikmati keindahan alam Indonesia!
#ayojelajahindonesia