Hi Kawan,
Adakalanya disaat menjelajah, kita lebih sibuk mengabadikan dari pada menikmati. Dulu waktu masih membawa kamera besar kemana-mana, saya pernah mengalaminya. Ketika melihat hasil foto, saya bahkan tidak ingat saya pernah melihat apalagi menikmati keindahan alam yang saya foto. Menikmati dari balik lensa, yang kemudian saya sesali. Di Pulau Tagalaya kebalikannya yang saya alami. Saya terlalu menikmati dan lupa mengabadikan.
Hari ini, hari kedua Baronda Maluku Utara dan Maluku saya. Masih dalam penjelajahan Tobelo dan sekitarnya. Pagi ini saya sudah ada janji dengan Pak Seba yang akan membawa saya keliling dari pulau ke pulau dengan perahunya. Teh manis panas dan sepotong kue dari penginapan Esterlina jadi pengganjal perut sebelum penjelajahan dimulai.
Pukul 9, sesuai janji, Pak Seba sudah menunggu saya. Perlahan perahu menjauh pelabuhan Tobelo mengarah ke Pulau Kumo, memutari Pulau Kakara, dan tiba di Pulau Tagalaya.
Sepintas tidak ada yang istimewa mengenai pulau ini. Tidak ada pasir putih dengan pohon Kelapa yang melambai-lambai. Keindahannya tersembunyi, dan mulai tampak saat Pak Seba membawa perahunya memasuki laguna yang terbentuk karena kepungan hutan Mangrove di sekitar pulau. Air bening di muara laguna menampakkan koral-koral di dalamnya. Menampakkan keindahan saat akar-akar Bakau bertemu dengan koral dibawahnya. Saya duduk di ujung kapal, tidak mau terlewatkan pemandangan apapun.
Perahu berputar mengelilingi laguna. Sesekali Pak Seba menjelaskan tentang apa yang kami lihat, tentang turis asing yang biasanya berkemah di pulau dan menyelam, dan juga tentang Ikan Kerapu besar yang menghuninya. Konon akhirnya ikan ini ditombak karena dikhawatirkan mengganggu penyelam.
Saya tak perlu ber-snorkeling untuk menikmati keindahan dasar laut Pulau Tagalaya. Pagi ini air mulai surut dan saya lebih dari puas hanya menikmati dari atas perahu sambil mendengarkan cerita Pak Seba. Menikmati aneka koral, ikan dan bintang laut yang berwarna biru.
Puas menikmati keindahan Pulau Tagalaya, kami kembali ke Pelabuhan Tobelo. Sebelumnya berlabuh di Pula Kakara. Pulau ini lebih ramai dikunjungi karena terletak tidak jauh dan ongkos untuk menyeberanginya pun sangat terjangkau, sama halnya dengan Pulau Kumo. Kedua pulau ini jadi tujuan wisata bagi masyarakat sekitar Tobelo.
Kembali ke Tobelo, saya memilih ojek untuk menjelajah beberapa tempat yang direkomendasikan oleh Pak Seba. Masalah komunikasi dimulai ketika ojek yang saya tumpangi tidak terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Tapi kami mencapai kesepahaman dan bapak tukang ojek mengerti apa yang saya mau. “Sebentar saya tunggu di sini, kalau Mas mau bersih-bersih dulu.”
Tempat pertama yang kami tuju adalah Air Panas Mamuya yang berjarak kurang lebih 10 km dari Kota Tobelo. Kolam dengan sumber air panas alami dari Gunung Mamuya. Sumber air panas ini juga digunakan sebagai tempat mencuci oleh masyarakat setempat. Setelah bermandikan matahari sepagian, berendam air panas bukan pilihan saya siang ini. Cukup merendam kaki merasakan kehangatan airnya.
Tidak jauh dari Air Panas Mamuya terdapat Telaga Biru. Telaga yang tidak besar dan lebih cocok disebut sebagai kolam ini konon menjadi tempat mandi Bidadari. Mandi di air yang bening, sejuk, dan ternaungi pepohonan.
Masih di Desa Mamuya, saya menyempatkan diri mengobrol dengan satu keluarga yang sedang mengupas biji pala, di bawah pohon, di samping rumah mereka. Aca yang baru berusia 2 tahun, juga ikut membantu keluarganya. Kuku jarinya menghitam karena getah biji Pala. Saya mendapatkan hadiah dari Aca sebuah lagu Kasih Ibu lengkap dengan goyangannya sebagai barter dengan sebungkus craker yang saya bawa. Hebat!
Kulit biji Pala yang biasa disebut Fuli, Mache, atau Bunga Pala menjadi bagian dari Buah Pala dengan harga jual tertinggi sesudah dikeringkan. Warna Merah dan Putih menunjukkan perbedaan jenisnya.
Kembali 4 km ke arah Kota Tobelo, Pantai Luari menjadi persinggahan berikutnya. Pantai panjang berpasir putih dan menjadi tempat favorit masyarakat sekitar. Walaupun langsung berhadapan dengan Samudera Pasifik, ombak di perairan ini tidak terlalu besar, tempat yang tepat untuk berenang.
Di Pantai Luari saya mencicipi makanan khas Tobelo yang katanya harus dicoba jika berkunjung, Pisang Goreng Mulu Bebe. Mulu Bebe berasal dari kata mulut Bebek, jenis pisang kuning melengkung yang dianggap menyerupai paruh Bebek. Diiris dan digoreng, tidak terlalu tipis dan garing seperti halnya keripik pisang, dan dimakan dengan sambal Dabu-Dabu. Unik dan enak!
Mendung pagi yang berganti matahari panas datang kembali. Setelah beberapa jam terjemur panas matahari di atas motor, akhirnya harus kuyup terpapar gerimis. Angin membawa hujan datang dan pergi.
Kembali ke jalan, kali ini ke arah Sofifi melewati Kota Tobelo sejauh 20 km. Cuaca tak mendukung saat tiba di Pantai Kupa-Kupa. Pantai favorit untuk berenang ini, berpasir kecoklatan dengan jajaran pohon ketapang yang menjadi ciri khas. Lebih ramai dan komersial dari Pantai Luari. Restoran dan Cottage sudah berdiri lama di pantai ini. Akses jalannya harus melewati perumahan dan area sebuah perusahaan besar dengan jalan tanah yang becek saat hujan.
Hari mulai gelap, hujan mulai reda, saatnya kembali ke penginapan. Kulit perih terbakar matahari di atas kapal dan motor, serta kedinginan terpapar angin dan hujan sebanding dengan penjelajahan seru hari ini. Cukup puas walaupun masih banyak tempat yang belum sempat dijelajahi di Tobelo. Ayo kawan, kita atur waktu untuk kembali baronda di Halmahera!
Ikuti penjelajahan saya berikutnya, 9 hari baronda di Maluku Utara dan Maluku, round Gunung Gamalama di Ternate. Klik JELAJAH untuk menerima notifikasinya lewat email.
@kawanjelajah
#ayojelajahindonesia